Bingkisan Puisi
Oleh :
Ikhwan A
Yakinlah,
bahwa yang kita miliki, akan sangat berharga jika kita dapat memaknainya dengan
baik. Dan semua itu aku temukan disini, tentang perjuangan, kesabaran dan
keikhlasan, yang kadang akan sulit kau temui. Kesedihan ? adalah gambaran yang
menutup kabahagian kita, jika memang harus tertawa mangapa harus menangis. Perjalanan hidup untuk menemukan jati diri,
dan arti hidup sesungguhnya, setidaknya itu yang dapat menggambarkan kisah ini.
Pengabdian cinta seorang hamba pada tuhannya. Adalah sebuah bukti, bahwa
ketulusan cinta itu penting, mimpi-mimpi yang terukir indah menjadi sebuah
harmoni. Kisah yang terukir lewat ketulusan dalam persahabatan sejati.
Hingga
ku biarkan khayalan ini pergi jauh mendekati garis mimpi-mimi ku. Malam takayal
menutup kesunyian hari ini. Di tengah lelapnya alam terdengar lantunan
ayat-ayat suci Al-Quran, menggetarkan dahan-dahan sunyinya malam. Ah, aku jadi
penasaran hingga mata kian sulit terpejam, tak ubahnya oleh ku lantunan indah
malam ini. Tapi siapa ? adalah kata yang sulit untuk di jawab, hingga semakin
gelap suara itu telah larut dalam sunyinya malam.
Hingga adzan shubuh bersahutan
mengagungkan asma Allah. Dengan segera ku penuhi panggilan yang sempurna itu,
panggilan yang membuat ku sadar bahwa Tuhan masih mau membangunkan ku dari
tidur untuk beribadah kepada-Nya. Sehabis sholat shubuh di surau itu, aku
pulang, jalanan sepi dan angin pagi berhembus sejenak bersama kilauan bintang
yang bertebaran di langit sana, jika hari menjelang naik akan hilang
bintang-bintang yang indah itu, meski tak hilang sebenarnya. Entah berapa
jumlahnya namun sungguh indah.
“Assalamualaikum”, tag, sentak aku terkejut
hingga tertahan kata dimulut ku untuk membalas salam itu. Pantas untuk ku terkejut,
aku tak pernah mengenal ia sebelumnya.
“Waalaikumsalam” ku jawab lirih, biar mulut
bicara, bunyinya seperti orang menggumam kecil sekali.
Yang paling membuatku terkejut adalah
senyumannya, manis sekali, seperti gula jawa. Gula jawa ? Ya, gula jawa
setingkat lebih manis dari gula pasir, itu yang ku lihat darinya saat
menyapaku. Keindahan senyuman yang tersimpan dalam kuatnya cahaya iman.
---* * *---
Dua
keranjang kue sudah ku bawakan. Semenjak sore kemarin, mbok Inah lebih senang
menyibukkan diri bersama tepung, telur, gula dan alat-alat pembuat kue lainya
di dapur.
Ia adalah seorang nenek yang mempunyai
seorang cucu perempuan, dari anak perempuannya yang menikah dengan seorang
laki-laki miskin, yang tak mempunyai sanak saudara. Namun apa mau dikata jika
cinta mempersatukan mereka sebagai sepasang suami- istri. Mereka hidup jauh
dari keramaian, jauh dari mbok Inah. Dalam pernikahan mereka, mereka di karuniai
seorang anak perempuan bernama Sumi. Keluarga ini hidup bahagia, Sumi kecil
gemar membantu ibunya dirumah, menyiapkan makan sederhana untuk menyambut ayah
Sumi yang berkerja sebagai penambang pasir di suatu perusahaan negeri. Kadang
untuk dapat melihat Sumi dapat menikmati sepiring nasi, kedua orang tua Sumi
rela kelaparan. Mereka ikhlas asalkan Sumi kecil dapat makan, karena gaji ayah
Sumi seharian berkerja tidaklah mencukupi untuk makan mereka bertiga. Karena
itu ibu Sumi kecil sering berkerja menjadi pembantu rumah tangga, untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Namun hasil dari menjadi pembantu rumah tangga juga
tidak begitu besar.
Sudah 7 tahun mereka hidup bersama. Namun
apa mau di kata Ibu Sumi kecil meninggal karena penyakit busung lapar yang di
deritanya. Saat itu Sumi kecil hanya bisa tertegun saat melihat jenazah emaknya
di makamkan dengan kondisi yang memprihatinkan, kondisi seorang Ibu yang
berhari-hari tidak makan untuk melihat anaknya dapat memakan nasi. Sumi kecil
masih terlalu dini untuk mengerti apa yang ia alami, yang ia rasakan kini hari
harinya begitu sepi. Kini ia hanya bisa menanti ayahnya pulang dari berkerja,
dan berharap membawa sedikit makanan untuk mereka berdua. Kesedihan Sumi kecil
tak terelakkan lagi saat ia harus mendapati bapaknya meninggal. Bapak Sumi
kecil meninggal saat berkerja menambang pasir, begitu keras ia berkerja untuk
dapat memberi makan Sumi kecil. Hingga ia lengah, bapak dari Sumi kecil
meninggal tertimbun longsoran pasir. Pengusaha tempat bapaknya Sumi berkerja memberi
sedikit santunan pada nenek Sumi, satu-satunya keluarga yang dimiliki Sumi di
dunia ini.
Nenek Sumi begitu larut dalam kesedihan,
nafasnya terpatah-patah, air matanya deras mengalir dan mulutnya tak henti
hentinya meracau. Tetangga nenek ikut menenangkan, tak menyangka Sumi kecil
harus merasakan cobaan yang begitu berat. Begitu berat?, Seorang anak dari
keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, harus merelakan kedua orang
tuanya pergi selamanya dari hidupnya. Sumi kecil menangis, namun Ia tak tahu
tangisnya tak akan mengembailkan kedua orang tuanya. Masih kurang bersabarkah
Sumi kecil saat Ia harus merelakan Ibu yang di cintainya, dan kini Ia harus
melepas kepergian ayahnya untuk selamanya. Dosa apa si Sumi kecil hingga
mendapat cobaan yang begitu berat dimasa mudanya, anak 7 tahun yang seharusnya
bisa tertawa bahagia bersama orang tuanya, kini harus merelakan orang tua yang
dicintainya pergi. Nenek Sumi kecil terlalu tua untuk merawat Sumi kecil. Ia
juga seorang yang hidup dalam kemiskinan dan tinggal di sebuah gubuk kecil yang
jauh dari tempat tinggal Sumi, yang kini harus hidup sebatang kara.
Rindu, kata itulah yang akan selalu terlintas
dalam hidup Sumi jika sewaktu- waktu Ia teringat kedua orang tuanya. Kini satu
satunya harta berharga yang Ia miliki adalah neneknya. Di depan rumah yang tua
itu nenek bercucu itu berpelukan, pelukan hangat seorang nenek yang mendapati
cucunya sendiri harus di tinggal mati kedua orang tuanya. Mereka berpelukan
erat sekali, sebagai orang miskin dengan cobaan yang tak tertanggungkan. Senja
menjadi mengharu biru, harus bagaimana nenek bercucu ini menjalani hidup. Saat
tersadar kesedihan telah membawa jarum hidup ke sunyinya malam.
---***---
Tatapan
ku hampir buyar saat aku di panggil. ”Le, tolong antarkan kue ini di warung!”,
pinta mbok Inah, aku hanya bisa mengangguk dan memenuhi permintaan mbok Inah.
Batin ku telah terpanggil untuk membantu mbok Inah di masa tuanya.
Aku pun hanya seorang anak yang di
lahirkan dari keluarga sederhana, keluarga ku mengenal mbok Inah. Mbok Inah itu
orang yang baik, aku mengenal mbok Inah ketika itu Ia membantu memasak dalam
acara sebuah keluarga. Keluarga orang kaya yang terkenal bengis di kampung itu.
Tak sengaja mbok Inah memcahkan sebuah piring, pemilik rumah murka dan mengusir
mbok Inah tanpa uang se-sen pun Ia dapat dari hasil kerja kerasnya.
Sejak saat itu, aku senang membantu mbok Inah
membuat kue, aku akan senang bila dapat membantu menitipkan kue buatanya
kewarung warung kecil. Hasil dari berjualan kue sedikit, hanya cukup untuk
makan mbok Inah sehari 2 kali dan uang simpan recehannya yang tidak seberapa.
Mungkin, umur ku sama dengan umur Sumi, namun
Sumi lebih beruntung. Sehari setelah kedua orang tua Sumi meninggal, Ia di
angkat sebagai anak oleh seorang keluarga jutawan yang baik hati, mereka
prihatin saat melihat keadaan Sumi kecil waktu itu, hingga mereka
memutuskan meminta ijin kepada nenek
Sumi untuk mengankat Sumi sebagai anak mereka. Nenek Sumi setuju karena Ia pun
juga tak akan mampu membesarkan Sumi sendirian. Keluarga jutawan itu mengangkat
Sumi sebagai anak karena selama pernikahan mereka belum di karunia seorang anak
pun. Sumi resmi di angkat sebagi anak keluarga jutawan, disahkan di pengadilan.
Nenek Sumi adalah satu satunya keluarga Sumi kecil yang menjadi saksi pengangkatan Sumi sebagai anak
jutawan tersebut.
Keluarga jutawan itu berjanji, mempertemukan
Sumi dengan neneknya kelak ketika Sumi dewasa. Sumi kecil kemudian di bawa ke
Jakarta, disana Ia menjalani hidup bersama keluarga barunya sebagai putri jutawan.
Jauh dari neneknya, jauh dari cerita hidup yang membuatnya harus merasakan
kesedihan yang mendalam. Kini nasib telah membawa Sumi kecil sebagai putri
seorang jutawan, Ia tak akan merasakan kelaparan lagi, tidak akan merasakan
susahnya hidup. Tidak seperti mbok Inah neneknya, yang harus berjuang
menyambung hidup sendiri. Sejak saat itu mbok Inah berjualan kue kue kecil unuk
bertahan hidup.
Mbok Inah orang yang taat beribadah, tak
dilupakannya di sela sela kesibukan membuat kuenya ia selalu berdoa agar tetap
di beri kekuatan dalam hidup. Sebuah doa sederhana dari hamba pada penciptanya,
sebuah pengharapan besar dalam hidup.
Pada
hari ini ku dapati wajah mbok Inah berseri seri, pantas wajah mbok Inah yang
berkerut itu terlihat seperti sedang tersenyum gembira. Ada sesuatu yang di
rasakan mbok Inah, apa itu aku tak tahu, yang pasti telah menjadikan hari mbok
Inah ceria.
“Wah, ada apa mbok. Kok kelihatan senang
sekali”
“Iyo, Le. Putuku pulang dari Jakarta”, sahutnya
riang sambil membersihkan tepung yang mengenai kebayanya. Memang mbok Inah
selalu mengenakan kebaya baik di rumah maupun di luar rumah, itu yang membuat
ku salut. Jarang ku temui orang seperti mbok Inah sekarang.
“ Oh, ya syukur mbok kalau begitu”
“Terus kue ini mau buat apa mbok banyak sekali
?” tanya ku pada mbok Inah, karena di hari hari biasa mbok Inah tak pernah
membuat kue sebanyak ini.
“ Sebagian akan di jual, sebagian lagi untuk
cucuku, cah bagus”, ucap mbok Inah sambil tertawa terkekeh. Rasanya aneh juga,
pertama kali di sebut cah bagus oleh mbok Inah. Siapa yang tak senang di sebut
‘cah bagus’ yang berarti anak cakep.
Tapi wajar mbok Inah senang, sudah 10 tahun Ia
berpisah dengan cucunya yang pergi ke Jakarta hidup bersama keluarga jutawan.
Pertemuan seorang nenek dengan cucunya, satu satunya harta terindah yang Ia
miliki saat ini. Kerinduan dua hati yang lama terpisah. Bagaimana cinta yang
akan terjadi antara nenek dan cucunya itu. Mungkin air mata tak akan bisa
menggambarkan kerinduan ini.
---***---
Sehabis
sholat shubuh kulangkahkan kaki ke rumah mbok Inah. Di liburan ini aku senang
berkunjung ke rumah mbok Inah. Sampai di depan rumah berpintu tua itu, dengan
teras kayu usang berpagar bambu, namun udara di rumah itu sejuk. Hal itu di
karenakan pohon gayam tegak berdiri di depan samping kanan rumah mbok Inah,
daunya lebat, menghalangi sinar matahari di siang hari.
Sejenak ku tatap pintu itu membayangkan
keceriaan kecil di dalamnya, dari wajah mbok Inah yang bahagia bertemu cucunya.
Tok, tok, tok. Belum ada jawaban di balik pintu tua itu. Beberapa kali mencoba,
hingga tangan terasa sakit oleh pintu itu. Mungkin mbok Inah sedang ke pasar
membeli bahan bahan untuk membuat kue. Ketika akhirnya akan ku tinggalkan rumah
mbok Inah, daun pintu berbunyi, pintu dibuka dari dalam. Muncul wajah gadis
cantik sebayaku. Aku pernah melihatnya tapi aku lupa dimana. Ah! Aku ingat, Ia
yang menyapaku sepulang sholat shubuh kemarin.
“Mari, masuk!”,Ia mempersilakan aku masuk. Menyadarkan
ku, ternyata Ia cucu Mbok Inah. Semenjak Ia di Jakarta namanya di ganti menjadi
Ima Rahmawati. Ima tinggal bersama keluarganya di Jakarta, dan kini setelah 10
tahun berlalu Ia kembali bertemu neneknya. Ima Rahmawati seorang putri jutawan
adalah Sumi cucu mbok Inah, seorang gadis cantik jelita dengan sikap bersahaja.
Banyak perbincangan yang terjadi, Ia banyak bercerita tentang dirinya. Aku
menceritakan kepadanya tentang mbok Inah neneknya, Ia sangat tertarik untuk
mendengar cerita ku. Banyak tawa, sedih, dan tangis dalam perbincangan yang
singkat ini.
“Assalamualaikum”, salam mbok Inah seraya
memasuki ruang tamu yang sempit itu.
“Waalaikumsalam,nek sudah pulang”, ucap Ima lalu
membantu membawakan belanjaan yang di bawa mbok Inah.
“Sampun, cucuku yang cantik. Lho dek Rendi
sudah akrab begitu?”
“Iya mbok, kemarin kita sempat bertemu sehabis
sholat shubuh”
“O begitu, yo wis lah”, ucap mbok Inah
kemudian berlalu ke dapur. Bergelut dengan asap tungku dan tepung tepung itu. Meninggalkan
kami berdua untuk sejenak berbincang.
Aku
mudah akrab dengan Ima, sedikit waktu telah mengubah pertemuan ini menjadi
pengalaman yang luar biasa.
Rumah
mbok Inah terdiri dari 3 bagian. Di depan sebagai ruang tamu, di tengah sebagai
kamar tempat mbok Inah beristirahat dengan cucunya saat ini dan di belakang ada
kamar mandi dan dapur tempat mbok Inah memasak.
Rumah gubuk itu menghadap ke utara, tepat di depan sana ada lembah dan bukit
bukit. Indah sekali jika matahari akan terbit. Cahaya matahari akan menerpa
ujung bukit bukit itu, lalu sebagian sinarnya turun ke lembah. Akan terlihat
indah sekali dari teras rumah mbok Inah yang terbuat seperti panggung, namun
lebih pendek. Di sini angin semilir berhembus menyentuh batas naluri, dan rasa
keindahan terlukis jelas. Disana kami lalu berbincang kesana kemari, tertawa
dan merenung. Banyak cerita yang terkisah saat itu. Waktu waktu yang berharga.
Sungguh saat saat terindah, jika ada sedikit tinta akan terus mengalir cerita
ini.
---***---
Beberapa
hari ini tak ku lihat mbok Inah menitipkan kuenya di warung warung kecil. Tak
terlihat jalanya yang tergopoh gopoh dan sesekali batuk batuk kecil. Sungguh
hebat perjuangannya dalam bertahan hidup, bertahan untuk menemani cucu
tercintanya.
Sudah
berkurang air hangat di panci kecil itu untuk mengompres kening mbok Inah. Di
dipan tuanya yang rapuh, Ia terbaring sakit. Matahari terik terlihat dari dalam
ruangan kecil berjendela menghadap ke timur itu. Sudah beberapa hari ini batuk
mbok Inah semakin menjadi. Aku dan Ima merawat mbok Inah saat Ia terbaring tak
berdaya menahan sakit itu. Kami tak menyadari bahwa mbok Inah juga menderita
darah tinggi. Dimasa tuanya Ia harus berjuang melawan rasa sakit, Ia harus
tegar menahan rasa sakit itu untuk bertahan menemani dan melihat cucunya
bahagia. Di masa tuanya Ia harus menderita karena rasa sakitnya, di saat
bahagianya Ia dapat melihat cucu yang Ia sayangi.
“Le, Rendi. Kalau tiada panjang umur nenek,
kamu tolong jaga Ima ya! Dia bisa tertawa sama kamu Le”, ucap mbok Inah lirih,
nafasnya terpatah patah seperti menahan sesuatu.
“Ah.., simbok ngomong apa. Belum apa apa sudah
menyerah begitu, yang ku tahu simbok orang yang kuat, mbok”, ucap ku meyakinkan
simbok.
Bukan hanya sekedar menghibur, simbok harus
sembuh. Simbok harus menemani cucu tercintanya Ima, satu satunya harta terindah
yang saat ini Ia miliki. Aku tak sampai hati melihat kesedihan Ima mendapati
neneknya terbaring menahan rasa sakit.
Suasana
bertambah kalut saat mbok Inah terbatuk batuk sampai mengeluarkan darah.
Warnanya merah kecoklatan, menandakan sudah seberapa parahnya penyakit itu
merapuhkan tubuh tuanya.
“Le, kamu harus berjanji menjaga Ima untuk
simbok, Le!”
“Iya mbok. Rendi janji, Rendi janji menjaga
Ima untuk simbok”, karena hanya itu jawaban yang bisa keluar dari mulut ku. Tak
bisa berkata lebih melihat pederitaan mbok Inah.
“Nek.., jangan tinggalin Ima nek !” ucap Ima
setengah berteriak.
“Ima. Kamu baik baik ya nak, nurut sama orang
tua kamu!”
“Agh...Allah...huakbar”, kata terakhir keluar
dari mulut mbok Inah sebelum menghembuskan nafas terakhir. Sebelum pergi untuk
selamanya, meninggalkan cucu tercintanya. Cucu yang sempat membahagiakanya di
saat saat terakhir. Tangis pecah mengiringi kepergian mbok Inah. Seorang hamba
Tuhan telah kembali ke penciptanya, meninggalkan satu satunya harta terindah
yang Ia miliki.
“Nenek!”, teriak Ima tak percaya. Ini kesekian
kalinya Ia harus merelakan orang yang di citainya pergi selamanya dari
hidupnya. Pergi meninggalkan seberkas kesedihan. Ima seorang anak manusia yang
kini harus hidup sebatang kara. Tak percaya waktu mempertemukan Ia dengan
neneknya telah membahagiakannya kini
harus tandas, hancur berkeping keping lalu menghilang selamanya.
Nenek
yang di cintainya telah pergi, satu satunya keluarga yang Ia miliki telah
menghadap Tuhannya. Ternyata Tuhan lebih mencintai mbok Inah. Mencintai dalam
cinta yang abadi, cinta Tuhan terhadap hambaNya. Yang tak mungkin seorang pun
bisa menghalangi, tidak Ima, aku atau siapapun.
Air
mata Ima pun tak terbendung lagi, sudah begitu kuat tangannya menggenggam
tangan neneknya. Sudah begitu sedih dan habis segala penantiannya untuk
neneknya.Kini Ia harus rela melepaskan saat saat terindahnya bersama orang yang
Ia sayangi, orang terdekat yang ada pada dirinya.
Kini
orang itu telah pergi meninggalkan Ima selamanya. Meninggalkan kesedihan yang
menyayat dalam luka. Betapa sedihnya, kesedihan merelakan orang orang yang Ia
sayangi, Ia harus sendiri dalam hidupnya. Ia harus sendiri menjalani kisah
kisahnya dalam hidup, orang tua angkatnya akan rela menjaga dan melindunginya.
Kesedihan anak manusia yang harus hidup sendiri di dunia, melihat orang orang
yang Ia sayangi pergi selamanya. Selamanya dari hidupnya.
---***---
Senja
menutup kelamnya hari kesedihan, angin selatan kemana engkau, saat aku harus
mengatakan kesedihan ini padamu. Matahari terbenam menutup harga kesedihan yang
harus di bayar Ima untuk kesekian kalinya. Bintang di ufuk timur pun sekarang
tak tahu kemana harus melepaskan kesedihan itu. Hari hari berlalu, kesedihan
Ima kian surut, kecintaannya terhadap orang yang Ia sayangi sungguh besar.
Namun, kesabaran dan kerelaan hatinya untuk melepas mereka lebih luas.
“Ima..kesedihan itu tak akan terbayarkan
dengan air mata, tak ada harga kesedihan seharga hidup. Jangan bersedih lagi
ya!”, ucapku menghiburnya.
“Terlalu cepat bagiku tuk kehilangan, saat aku
harus merelakan semua yang ada”, balasnya dengan nada pilu.
“Yakinlah, tak ada cinta yang membawa pada
kesedihan, cinta hanya menunjukkan jalanya. Bagaimana Ia harus di cintai dan di
pertahankan”, aku yakinkan itu padanya.
Kuharap aku berguna untuknya. Berguna untuk
mengurangi kesedihan yang Ia alami. Ada saat Ia bersedih untuk menghiburnya.
Karena aku telah berjani, akan membuatnya tersenyum kembali.
Di
pagi ini ku ajak dia untuk mengambil air wudhu, untuk mengadu dan melepaskan
kesedihan pada Tuhan. Sebagai samudra yang menampung riakan kecil anak-anak
sungai yang mengalir padaNya. Menampung setiap keluhan hamba-Nya dalam hidup.
Sholat
pun usai, doa telah mengalir panjang. Segala harapan telah disampaikan untuk
orang orang tercinta. Sekarang adalah saat menjalani hidup yang baru. Saat
menatap dunia dengan lebih baik.
“Jika kita mencintai seseorang yang telah
pergi dari hidup kita, maka mintalah kepada tuhan untuk membahagiakannya di
manapun mereka berada”, ucap ku untuk menghiburnya. Karena tak selamanya kita
dapat menjaga orang yang kita cintai.
“Jadi, kita mencintai untuk saling
membahagiakan dan untuk melihat orang yang kita cintai bahagia”, jawabnya. Ia
mengerti kalimat sederhana yang ku sampaikan. Di pagi itu tercurahlah semua isi
hati, mengalir dalam lantunan doa.
Keikhlasan
akan mengikis kesedihan dan mengubahnya menjadi kebahagiaan. Di dunia ini tak
ada cinta yang abadi. Cinta abadi itu ada saat kita mampu mengerti untuk apa
kita mencintai. Sesederhana apapun kita mencintai seseorang, jika kita dapat
menyikapi dengan baik, kita telah belajar untuk mengerti rasa cinta itu.
“Terima kasih ya Ren, Rendi Satriya sahabatku,
yang selalu ada dalam setiap kesedihan dan air mataku untuk membuatku
tersenyum”, ucapnya kemudian.
“Mungkin aku tak akan selamanya dapat menjaga
mu, namun yakinlah aku akan selalu ada untuk menghibur mu”
“Aku berharap kau ada dalam hidup ku, Ren”
“Yakinlah,
aku ada.”
Secuil
kata ku untuk berjanji akan menjaganya, membuatnya dapat tersenyum tulus dalam
kesedihannya. Cinta sejati ada pada Tuhan yang selalu ada untuk menjaganya
dalam suka ataupun duka. Aku akan ada dalam hidupnya sebagai bingkisan puisi,
berharap setiap kata dapat membahagiakannya. Puisi yang menemani hari harinya,
dan hadir dalam setiap kisah hidupnya. Seperti janjiku untuk membuatnya
tersenyum tulus. Bingkisan puisi untuk Ima.